Abad 33
Matahari bertahta di
langit menampakkan sinarnya tanda bahwa hari mulai siang. Ombak lautan
terhempas pelan ke daratan, membuatnya tampak begitu indah. Laut biru yang kaya
akan biota alam membuatnya tampak seperti aquarium raksasa yang membuat siapa
saja terlena melihat pesona keindahannya. Pepohonan di sekitar pantai berjajar
rapi menambah keindahan pemandangan alam dan kesejukan yang luar biasa yang memberikan
kenyamanan bagi orang-orang yang berada di sekitar pantai, bahkan burung-burung
pun merasakan kenyamanannya. Sungguh betapa agung karya Tuhan yang telah
menciptakan dunia seisinya hanya untuk kehidupan makhluk-Nya di dunia ini
karena betapa sayangnya Beliau terhadap makhluk-Nya.
Terdengar kicauan burung-burung
yang gaduh di seberang sana, di pohon besar sejenis tanaman bakau. Nampak seperti
obrolan serius yang membicarakan sesuatu
hal yang penting.
”Sungguh beruntung kita terlahir di tempat ini, tempat yang damai, tempat
yang indah dan juga penuh akan kekayaan alam yang jika kita manfaatkan tidak
akan habis sampai tujuh turunan sekalipun karena kekayaannya yang mengagumkan”,
kata burung Jalak 1.
”Wah benar kamu, kemarin aku ketemu dengan burung yang berasal dari negeri
seberang yang mengeluhkan nasibnya karena mereka kesusahan mencari makanan
sehingga akhirnya mereka putuskan untuk mencari makanan di negeri kita, karena
negeri kita kaya ya aku biarkan saja mereka mencari makan di tempat kita”, kata
burung Pelatuk.
Tiba-tiba terdengar suara
burung terengah-engah seperti burung yang sangat kelelahan karena baru saja
melakukan penerbangan jauh menghampiri mereka serta memotong obrolan mereka.
Ternyata seekor burung Jalak yang juga kawan mereka yang datang. ”Ehh,
kawan-kawan tau gak sih? Di hutan lain
sedang ada penjarahan oleh manusia-manusia serakah!!”, kata burung itu. Burung jalak 1 dan
burung Pelatuk sontak kaget dan tanpa diaba-aba langsung saling menengok
sehingga mereka saling bertatapan. Padahal baru saja mereka membicarakan
negerinya yang sejahtera, tenteram, aman dan damai, tapi pernyataan burung
Jalak 2 itu membuat obrolan mereka sia-sia tanpa adanya fakta terkini.
Kemudian burung Jalak 2 berkata lagi sebelum mereka berdua menjawab
pernyataannya tadi, ”Loh ekspresi kalian itu menandakan bahwa apa yang aku
bicarakan tadi adalah omong kosong, iya begitu?, wah jangan salah kalian, aku
ini telah melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa disana ada segerombolan
manusia yang akan memangkas habis seluruh isi hutan dan menjadikannya
sebagai....., ehmmm sebagai apa ya tadi? aku lupa, hhehe. Ya pokoknya hutan itu
akan dirusak, aku serius ni!.”
”Eh kamu jangan sembarangan kalau ngomong, kami berdua baru saja mengatakan
bahwa negeri kita ini sejahtera dan bla bla bla sampai-sampai burung di negeri
seberang saja pergi ke negeri kita untuk mencari makan, malah kamu ngomong
kayak gitu”, tukas si burung Pelatuk.
”Aku ini sedang berbicara fakta, aku tahu apa yang terjadi disana karena aku
baru saja bermain disana, jadi aku tahu apa yang terjadi disana sekarang, kalau
tempat bermain aku tidak dijarah mereka mana mungkin aku buru-buru terbang
kesini dan memberitahukan hal itu pada kalian berdua”.
”Logis juga sih apa yang dikatakan dia, kita kan memang tinggal di pulau
yang belum terjamah manusia jadi wajar saja kalau kita mengatakan bahwa negeri
kita ini adalah negeri yang sejahtera, tapi kita tidak tahu bagaimana kondisi
negeri kita di belahan lain. Dan juga memang kita kan gak pernah berkelana jauh
sampai memasuki daerah lain seperti si Jalak hiperaktif itu yang tiap hari
kerjaannya traveling”, imbuh si Jalak
1.
”Nah bener banget tuh”, kata Jalak 2 semangat.
Kemudian si Pelatuk protes karena belum percaya, ”gimana aku bisa percaya?
orang dia ngasih infonya setengah-setengah gitu.”
”Yaelah kayak kamu baru kenal dia hari ini saja sih, dia kan orangnya emang
pelupa. Kamu gak inget kejadian waktu aku terluka karena nabrak pohon kemarin?
Dia yang nemuin aku trus dia pamit ke aku mau nyariin obat, eh malah dia main
sama temen-temennya dan lupa ama tujuan awalnya nyariin obat buat aku. Barulah
kamu datang dan kamu yang menolongku”, jawab si Jalak 1.
Jalak 2 hanya tersenyum
meringis sambil menahan malu mengingat kejadian itu. Menyadari kejadian itu si
Pelatuk berpikir kembali untuk mencoba mempercayai pernyataan Jalak hiperaktif
itu. Namun ia tetap tidak bisa percaya sepenuhnya, karena ia pernah mendengar pernyataan
dari burung luar negeri bahwa negerinya adalah negeri yang kaya akan sumber
daya alam. Lalu ia memutuskan untuk membuktikan pernyataan yang diuangkapkan
burung Jalak 2 tersebut, ”kalau gitu, ayo kita ke tempat itu sekarang dan kita
buktikan apa yang dikatakannya benar apa tidak, aku belum bisa percaya kalau
belum melihatnya sendiri.”
Akhirnya mereka bertiga
pergi ke tempat yang diceritakan oleh Jalak 2. Tempat yang ia tunjuk agak jauh
dari tempat mereka bertengger tadi sehingga perjalanan mereka membutuhkan waktu
kurang lebih satu jam untuk mencapai tempat yang mereka maksud. Di perjalanan
si Jalak 2 sibuk meyakinkan kedua burung itu agar mereka mau mempercayai semua
pernyataanya. Ia memberikan bukti-bukti bahwa akhir-akhir ini memang sedang
gencar diberitakan bahwa negeri kita sudah tidak sekaya dulu. Telah terjadi eksploitasi
besar-besaran di daerah lain. Dia juga mengatakan bahwa mereka beruntung
tinggal di tempat yang belum terjamah manusia sehingga yang mereka rasakan
hanya rasa aman, tenteram dan damai, tidak ada perasaan was-was sedikit pun
menggelayuti pikiran mereka, namun kondisi itu tidak dirasakan oleh
burung-burung yang tinggal di tempat lain. Ia juga menceritakan pengalaman yang
pernah diceritakan padanya saat ia berkunjung di daerah lain bahwa tidak hanya
kondisi alamnya saja yang memprihatinkan tapi juga para satwa yang ada di
daerah tersebut juga memprihatinkan, mereka terancam punah karena diburu oleh
manusia serakah yang ingin memperkaya dirinya sendiri dengan memperjual belikan
satwa, baik dijual hidup-hidup atau dibunuh untuk dijual kulit atau dagingnya
untuk diolah kembali dan dijadikan barang yang mempunyai nilai jual tinggi.
Mendengar cerita dari
Jalak 2 tersebut, si Jalak 1 dan Pelatuk berpikir bahwa mereka sudah terlalu
jauh tertinggal dan hanya memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri tanpa menghiraukan
keadaan satwa lain di luar sana yang sebenarnya sedang dirundung kesusahan
akibat adanya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan manusia. Mereka merasa
menjadi makhluk yang tidak berguna sama sekali yang hanya bisa memikirkan diri
sendiri, mereka merasa bersalah dan ingin ikut membantu saudaranya yang sedang
mengalami musibah di daerah-daerah lain. Sehingga mereka menjadi lebih
bersemangat untuk menuju daerah yang ditunjukkan oleh Jalak hiperaktif itu.
Setelah sekian lama mereka
melakukan penerbangan akhirnya mereka sampai pada tempat tujuan yang dimaksud
si Jalak 2. Mereka berdua kaget melihat hutan daerah itu sudah gundul dan
gersang tanpa adanya pepohonan, yang tersisa adalah semak belukar dan
pohon-pohon kecil yang memang belum bisa dimanfaatkan. Mereka melihat beberapa
manusia memasukkan batang pohon ke dalam truk dengan alat yang mereka punyai,
dan setelah semua batang pohon dimasukkan langsung mereka pergi dari tempat
itu. Mereka melihat ekspresi puas di raut wajah manusia-manusia serakah itu,
mungkin mereka puas karena mereka mendapatkan hasil yang sangat banyak dan
memiliki kualitas pohon terbaik.
Melihat ekspresi wajah
manusia-manusia itu si Pelatuk menjadi geram dan menyambar salah satu manusia
belum masuk ke mobil dan mematuk dahinya hingga bocor dan berdarah. Si Jalak
hiperaktif sempat kaget melihat kejadian tersebut karena kejadiaanya
berlangsung sangat cepat, namun ia bangga melihat keberanian temannya melukai
manusia serakah itu, karena manusia serakah itu membawa senapan yang bisa
menghilangkan nyawa mereka kalau mereka tidak hati-hati. Kemudian mereka
bertiga cepat-cepat bersembunyi agar tidak ditembak oleh teman manusia yang
telah dilukai si Pelatuk tersebut.
Mereka telah melihat
kekejaman manusia yang serakah yang tega memusnahkan seluruh isi hutan hanya
untuk mencari kekayaan, bahkan mereka bertiga juga hampir menjadi korbannya
karena kejadian yang terjadi pada saat si Pelatuk mematuk dahi salah satu
manusia serakah itu. Mereka berpikir bahwa mereka tidak bisa mencegah manusia untuk
mengeksploitasi tempat tinggal mereka karena mereka adalah makhluk yang kecil
tanpa mempunyai persenjataan, sedangkan manusia telah memiliki peralatan
canggih untuk melancarkan aksinya. Bahkan binatang besar dan kuat seperti
gajah, singa atau harimau sekalipun tidak mampu melawan kekejaman manusia yang
telah mahir menaklukkan semua binatang tersebut. Mereka berpikir bahwa hanya
satu yang bisa menolong mereka, dia adalah manusia yang masih mempunyai hati
nurani yang mampu melawannya. Karena hanya
sesama manusia yang bisa menandingi kehebatan manusia-manusia serakah itu.
Namun pertanyaannya sekarang adalah
masih adakah manusia yang mempunyai hati nurani yang bisa berpikir jernih
melawan egonya sendiri untuk tidak mengeksploitasi kekayaan alam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mengingat jumlah manusia saat ini yang sangat banyak
sehingga menimbulkan persaingan ketat satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan
hidup dirinya dan keluarganya. Mereka yang ditakdirkan oleh Sang Pencipta
sebagai makhluk yang berukuran kecil dan tidak memiliki akal hanya bisa berdoa
kepada Tuhan agar diberikan manusia yang masih berhati dan peduli dengan
kondisi sekitarnya agar mereka bertindak melawan keserakahan teman-temannya.
Hari terus berlalu, tahun terus
berganti dan waktu terus berputar, tidak terasa mereka menjadi tua dan
anak-anak mereka menjadi dewasa. Meskipun mereka tinggal di daerah pedalaman
yang masih asri dan belum terjamah oleh manusia, mereka selalu menceritakan
kepada anak-anak mereka bahwa kondisi yang mereka alami tidak bisa dialami oleh
semua satwa yang ada di bumi ini. Mereka beruntung masih bisa menghirup udara
segar dan tidak kekurangan suatu apapun. Namun di daerah lain para satwa
berjuang keras untuk bertahan hidup di tempat yang penuh dengan keterbatasan.
Mereka juga menyuruh anak-anaknya untuk berkelana ke daerah lain agar bisa
mengetahui keadaan para satwa lain yang tidak seberuntung mereka dan
satwa-satwa yang ada di daerah pedalaman tersebut.
Karena usianya yang
semakin tua si Pelatuk meninggal dunia, sebelum meninggal ia berpesan kepada
anak-anaknya agar mereka segera berkelana melihat-lihat kondisi buminya di
belahan bumi yang lain. Akhirnya si Pelatuk tersebut meninggal setelah
teman-teman seumurannya meninggalkannya terlebih dahulu.
Anak-anak burung itu pun
melaksanakan pesan yang telah dimandatkan kepada mereka bahwa mereka harus
berkelana melihat kondisi saudaranya di bumi belahan lain untuk mengetahui
kondisi bumi saat ini. Akhirnya mereka pun berangkat bersama-sama untuk memenuhi
mandat dari ayah mereka masing-masing. Sambil melihat kondisi hutan yang mereka
lewati mereka mengingat-ingat semua yang pernah diceritakan ayahnya kepadanya. Ternyata semua cerita ayah mereka benar, bumi sudah
mulai rusak. Mereka tidak lagi melihat alam yang asri seperti tempat
tinggalnya, bahkan mereka sempat tidak percaya melihat kondisi bumi yang
seperti itu karena mereka terbiasa melihat bumi yang asri dan hijau. Yang
mereka lihat hanyalah kekeringan dimana-mana, tanpa adanya pohon yang rindang,
satwa-satwa yang bermacam-macam juga tidak mereka temukan di tempat itu. Mereka hanya
menemukan gedung-gedung pencakar langit, jalanan dengan kendaraan yang penuh
sesak dan manusia yang sibuk melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri.
Mereka juga menyadari
bahwa doa yang pernah dipanjatkan oleh ayah-ayah mereka belum dikabulkan oleh
Tuhan. Karena mereka belum melihat manusia yang menyadari akan konservasi
lingkungan demi kepentingan generasi selanjutnya, mereka hanya memikirkan
bagaimana caranya untuk memperkaya diri mereka sendiri. Mereka tidak sadar
bahwa ancaman serius pemanasan global akan segera terjadi jika mereka
membiarkan lingkungannya dieksploitasi.
Para burung itu hanya bisa
diam termenung memikirkan nasib bumi mereka selanjutnya jika manusia terus
berlaku serakah tanpa memikirkan akibat jangka panjang. Kemudian mereka masih
tetap memanjatkan doa kepada Tuhan agar doa yang pernah dipanjatkan ayah-ayah
mereka dikabulkan oleh Tuhan.
Generasi terus berganti,
mereka akan selalu menceritakan keserakahan manusia yang tiada akhirnya kepada
anak-anak keturunannya. Mereka hanya bisa memberitahukan kepada anak-anaknya
saja tanpa bisa bertindak apa-apa. Karena mereka tahu bahwa manusia mempunyai
akal dan akan semakin berinovasi untuk menciptakan hal-hal baru tanpa
memperhatikan konservasi lingkungan. Beda dengan mereka para satwa yang tidak
mempunyai akal, sampai kapanpun mereka tidak akan bisa menandingi manusia
karena memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa mereka diciptakan tanpa akal.
Tibalah suatu kondisi
dimana krisis kehidupan melanda makhluk seluruh bumi. Kondisi seperti ini belum
pernah terjadi sebelumnya dan sebenarnya sudah pernah terpikirkan oleh manusia
bahwa kondisi ini suatu saat akan terjadi. Namun karena keserakahan mereka,
mereka tidak mau pusing-pusing memikirkan sesuatu yang belum pasti terjadi
karena mereka beroikir bahwa kekayaan alam yang ada di bumi ini melimpah ruah
dan masih bisa diperbaharui. Namun ternyata anggapan mereka salah. Keadaan
inilah yang menjawab kekhawatiran para burung dan satwa-satwa lain yang sudah
dari dulu mereka cemaskan. Akhirnya peristiwa ini mereka alami juga, meskipin
yang mengalami adalah generasi penerus mereka bukan mereka sendiri.
Sekelompok manusia yang biasa
disebut dengan pemerintah kini mempunyai hal baru untuk mereka pikirkan yaitu
bagaimana caranya agar rakyatnya tetap bisa bertahan hidup tanpa kekurangan
suatu apapun. Sedangkan sumber daya alam yang mereka miliki sudah mulai
menipis. Bahkan mereka harus merubah pola hidup mereka dan hidup dengan
kesederhanaan. Itulah yang terjadi saat ini di abad ke-33 ini.
Sekarang, terdapat banyak
rambu-rambu yang harus mereka (para manusia) tepati. Dimana peraturan-peraturan tersebut baru ada pada
akhir-akhir ini. Peraturan-peraturan itu adalah peraturan baru bagi mereka dan
rasanya sangat aneh jika sampai ada peraturan konyol itu. Namun itulah yang
sebenrnya terjadi, meskipun terlihat konyol namun pemerintah serius dalam
membuat peraturan tersebut.
Peraturan konyol tersebut antara
lain adalah adanya jual beli udara segar (O2) oleh masyarakat yang dikelola
oleh pemerintah. Hal ini terpaksa dilakukan agar semua makhluk hidup bisa
bernapas dengan sehat tanpa adanya perebutan wilayah udara segar, karena saat
itu udara segar sangat susah untuk ditemukan. Selain jual beli air bersih
terjadi di semua tempat tanpa terkecuali, yang sebelumnya hanya terjadi di
daerah-daerah tertentu saja. Lebih memprihatinkan lagi ketika melihat kondisi
satwa dan tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari
teknologi manusia. Tentu saja hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit
untuk melakukannya, namun memang tidak ada jalan lain selain melakukan hal itu
kalau manusia tidak mau mati kelaparan karena tidak ada lagi yang mereka makan.
Bahkan jumlah makanan yang boleh dimakan per harinya pun juga diatur oleh
pemerintah untuk mencegah kehabisan stok makanan.
Kondisi yang benar-benar
memprihatinkan ini membuat mereka tersadar bahwa apa yang dilakukan oleh para
leluhurnya dulu adalah tindakan anarkis yang tidak pernah memperhatikan nasib
keturunannya di masa depan. Dan sekarang sudah terlanjur terjadi, maka tidak
ada yang bisa mencegahnya kecuali menghadapinya dengan bijak. Sebijak apapun
solusinya tetap saja hal ini adalah sulit untuk dijalani karena bumi sudah
sangat rusak.
Para satwa yang telah diberikan
mandat oleh para leluhurnya dari generasi ke generasi tidak heran jika kondisi
seperti ini terjadi karena ternyata doa mereka tidak dikabulkan oleh Tuhannya.
Bagi mereka hal ini wajar terjadi karena manusia tidak pernah mau untuk
bersyukur dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah didapatnya.
”Inilah yang
diceritakan oleh ayah kita kawan, kita hanya bisa membayangkan bumi yang asri
dan hijau yang bisa membuat kita hidup aman, tenteram dan damai lewat
angan-angan kita tanpa pernah bisa merasakannya. Kita harus menerima semua ini
karena mau tidak mau kita harus merasakannya, namun kita juga tidak bisa
menyalahkan manusia karena semuanya sudah terjadi. Semuanya tidak bisa diulang
lagi, saling menyalahkan juga tidak ada gunanya bagi kita. Yang bisa kita
lakukan saat ini adalah mengikuti apa kata manusia saja, karena hanya mereka
yang bisa mengakali hidup ini. Meskipun jika suatu saat nanti Tuhan kita akan
membinasakan bumi dan seisinya termasuk kita. Setidaknya kita sudah berbuat
kebaikan untuk manusia agar mereka tetap bisa hidup, dan kita para hewan dan
tumbuhan harus rela jika kita dimakan oleh mereka”, kata seekor burung terhadap
teman-temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar