Selasa, 16 Oktober 2012

Abad ke-33


Abad 33

Matahari bertahta di langit menampakkan sinarnya tanda bahwa hari mulai siang. Ombak lautan terhempas pelan ke daratan, membuatnya tampak begitu indah. Laut biru yang kaya akan biota alam membuatnya tampak seperti aquarium raksasa yang membuat siapa saja terlena melihat pesona keindahannya. Pepohonan di sekitar pantai berjajar rapi menambah keindahan pemandangan alam dan kesejukan yang luar biasa yang memberikan kenyamanan bagi orang-orang yang berada di sekitar pantai, bahkan burung-burung pun merasakan kenyamanannya. Sungguh betapa agung karya Tuhan yang telah menciptakan dunia seisinya hanya untuk kehidupan makhluk-Nya di dunia ini karena betapa sayangnya Beliau terhadap makhluk-Nya.
      Terdengar kicauan burung-burung yang gaduh di seberang sana, di pohon besar sejenis tanaman bakau. Nampak seperti obrolan serius yang membicarakan sesuatu  hal yang penting.
”Sungguh beruntung kita terlahir di tempat ini, tempat yang damai, tempat yang indah dan juga penuh akan kekayaan alam yang jika kita manfaatkan tidak akan habis sampai tujuh turunan sekalipun karena kekayaannya yang mengagumkan”, kata burung Jalak 1.
”Wah benar kamu, kemarin aku ketemu dengan burung yang berasal dari negeri seberang yang mengeluhkan nasibnya karena mereka kesusahan mencari makanan sehingga akhirnya mereka putuskan untuk mencari makanan di negeri kita, karena negeri kita kaya ya aku biarkan saja mereka mencari makan di tempat kita”, kata burung Pelatuk.
     Tiba-tiba terdengar suara burung terengah-engah seperti burung yang sangat kelelahan karena baru saja melakukan penerbangan jauh menghampiri mereka serta memotong obrolan mereka. Ternyata seekor burung Jalak yang juga kawan mereka yang datang. ”Ehh, kawan-kawan tau gak sih? Di hutan lain sedang ada penjarahan oleh manusia-manusia serakah!!”, kata burung itu. Burung jalak 1 dan burung Pelatuk sontak kaget dan tanpa diaba-aba langsung saling menengok sehingga mereka saling bertatapan. Padahal baru saja mereka membicarakan negerinya yang sejahtera, tenteram, aman dan damai, tapi pernyataan burung Jalak 2 itu membuat obrolan mereka sia-sia tanpa adanya fakta terkini.
     Kemudian burung Jalak 2 berkata lagi sebelum mereka berdua menjawab pernyataannya tadi, ”Loh ekspresi kalian itu menandakan bahwa apa yang aku bicarakan tadi adalah omong kosong, iya begitu?, wah jangan salah kalian, aku ini telah melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa disana ada segerombolan manusia yang akan memangkas habis seluruh isi hutan dan menjadikannya sebagai....., ehmmm sebagai apa ya tadi? aku lupa, hhehe. Ya pokoknya hutan itu akan dirusak, aku serius ni!.”
”Eh kamu jangan sembarangan kalau ngomong, kami berdua baru saja mengatakan bahwa negeri kita ini sejahtera dan bla bla bla sampai-sampai burung di negeri seberang saja pergi ke negeri kita untuk mencari makan, malah kamu ngomong kayak gitu”, tukas si burung Pelatuk.
”Aku ini sedang berbicara fakta, aku tahu apa yang terjadi disana karena aku baru saja bermain disana, jadi aku tahu apa yang terjadi disana sekarang, kalau tempat bermain aku tidak dijarah mereka mana mungkin aku buru-buru terbang kesini dan memberitahukan hal itu pada kalian berdua”.
”Logis juga sih apa yang dikatakan dia, kita kan memang tinggal di pulau yang belum terjamah manusia jadi wajar saja kalau kita mengatakan bahwa negeri kita ini adalah negeri yang sejahtera, tapi kita tidak tahu bagaimana kondisi negeri kita di belahan lain. Dan juga memang kita kan gak pernah berkelana jauh sampai memasuki daerah lain seperti si Jalak hiperaktif itu yang tiap hari kerjaannya traveling”, imbuh si Jalak 1.
”Nah bener banget tuh”, kata Jalak 2 semangat.
Kemudian si Pelatuk protes karena belum percaya, ”gimana aku bisa percaya? orang dia ngasih infonya setengah-setengah gitu.”
”Yaelah kayak kamu baru kenal dia hari ini saja sih, dia kan orangnya emang pelupa. Kamu gak inget kejadian waktu aku terluka karena nabrak pohon kemarin? Dia yang nemuin aku trus dia pamit ke aku mau nyariin obat, eh malah dia main sama temen-temennya dan lupa ama tujuan awalnya nyariin obat buat aku. Barulah kamu datang dan kamu yang menolongku”, jawab si Jalak 1.
    Jalak 2 hanya tersenyum meringis sambil menahan malu mengingat kejadian itu. Menyadari kejadian itu si Pelatuk berpikir kembali untuk mencoba mempercayai pernyataan Jalak hiperaktif itu. Namun ia tetap tidak bisa percaya sepenuhnya, karena ia pernah mendengar pernyataan dari burung luar negeri bahwa negerinya adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Lalu ia memutuskan untuk membuktikan pernyataan yang diuangkapkan burung Jalak 2 tersebut, ”kalau gitu, ayo kita ke tempat itu sekarang dan kita buktikan apa yang dikatakannya benar apa tidak, aku belum bisa percaya kalau belum melihatnya sendiri.”
       Akhirnya mereka bertiga pergi ke tempat yang diceritakan oleh Jalak 2. Tempat yang ia tunjuk agak jauh dari tempat mereka bertengger tadi sehingga perjalanan mereka membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk mencapai tempat yang mereka maksud. Di perjalanan si Jalak 2 sibuk meyakinkan kedua burung itu agar mereka mau mempercayai semua pernyataanya. Ia memberikan bukti-bukti bahwa akhir-akhir ini memang sedang gencar diberitakan bahwa negeri kita sudah tidak sekaya dulu. Telah terjadi eksploitasi besar-besaran di daerah lain. Dia juga mengatakan bahwa mereka beruntung tinggal di tempat yang belum terjamah manusia sehingga yang mereka rasakan hanya rasa aman, tenteram dan damai, tidak ada perasaan was-was sedikit pun menggelayuti pikiran mereka, namun kondisi itu tidak dirasakan oleh burung-burung yang tinggal di tempat lain. Ia juga menceritakan pengalaman yang pernah diceritakan padanya saat ia berkunjung di daerah lain bahwa tidak hanya kondisi alamnya saja yang memprihatinkan tapi juga para satwa yang ada di daerah tersebut juga memprihatinkan, mereka terancam punah karena diburu oleh manusia serakah yang ingin memperkaya dirinya sendiri dengan memperjual belikan satwa, baik dijual hidup-hidup atau dibunuh untuk dijual kulit atau dagingnya untuk diolah kembali dan dijadikan barang yang mempunyai nilai jual tinggi.
      Mendengar cerita dari Jalak 2 tersebut, si Jalak 1 dan Pelatuk berpikir bahwa mereka sudah terlalu jauh tertinggal dan hanya memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri tanpa menghiraukan keadaan satwa lain di luar sana yang sebenarnya sedang dirundung kesusahan akibat adanya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan manusia. Mereka merasa menjadi makhluk yang tidak berguna sama sekali yang hanya bisa memikirkan diri sendiri, mereka merasa bersalah dan ingin ikut membantu saudaranya yang sedang mengalami musibah di daerah-daerah lain. Sehingga mereka menjadi lebih bersemangat untuk menuju daerah yang ditunjukkan oleh Jalak hiperaktif itu.
      Setelah sekian lama mereka melakukan penerbangan akhirnya mereka sampai pada tempat tujuan yang dimaksud si Jalak 2. Mereka berdua kaget melihat hutan daerah itu sudah gundul dan gersang tanpa adanya pepohonan, yang tersisa adalah semak belukar dan pohon-pohon kecil yang memang belum bisa dimanfaatkan. Mereka melihat beberapa manusia memasukkan batang pohon ke dalam truk dengan alat yang mereka punyai, dan setelah semua batang pohon dimasukkan langsung mereka pergi dari tempat itu. Mereka melihat ekspresi puas di raut wajah manusia-manusia serakah itu, mungkin mereka puas karena mereka mendapatkan hasil yang sangat banyak dan memiliki kualitas pohon terbaik.
     Melihat ekspresi wajah manusia-manusia itu si Pelatuk menjadi geram dan menyambar salah satu manusia belum masuk ke mobil dan mematuk dahinya hingga bocor dan berdarah. Si Jalak hiperaktif sempat kaget melihat kejadian tersebut karena kejadiaanya berlangsung sangat cepat, namun ia bangga melihat keberanian temannya melukai manusia serakah itu, karena manusia serakah itu membawa senapan yang bisa menghilangkan nyawa mereka kalau mereka tidak hati-hati. Kemudian mereka bertiga cepat-cepat bersembunyi agar tidak ditembak oleh teman manusia yang telah dilukai si Pelatuk tersebut.
      Mereka telah melihat kekejaman manusia yang serakah yang tega memusnahkan seluruh isi hutan hanya untuk mencari kekayaan, bahkan mereka bertiga juga hampir menjadi korbannya karena kejadian yang terjadi pada saat si Pelatuk mematuk dahi salah satu manusia serakah itu. Mereka berpikir bahwa mereka tidak bisa mencegah manusia untuk mengeksploitasi tempat tinggal mereka karena mereka adalah makhluk yang kecil tanpa mempunyai persenjataan, sedangkan manusia telah memiliki peralatan canggih untuk melancarkan aksinya. Bahkan binatang besar dan kuat seperti gajah, singa atau harimau sekalipun tidak mampu melawan kekejaman manusia yang telah mahir menaklukkan semua binatang tersebut. Mereka berpikir bahwa hanya satu yang bisa menolong mereka, dia adalah manusia yang masih mempunyai hati nurani yang mampu melawannya. Karena hanya sesama manusia yang bisa menandingi kehebatan manusia-manusia serakah itu.
      Namun pertanyaannya sekarang adalah masih adakah manusia yang mempunyai hati nurani yang bisa berpikir jernih melawan egonya sendiri untuk tidak mengeksploitasi kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengingat jumlah manusia saat ini yang sangat banyak sehingga menimbulkan persaingan ketat satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Mereka yang ditakdirkan oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang berukuran kecil dan tidak memiliki akal hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar diberikan manusia yang masih berhati dan peduli dengan kondisi sekitarnya agar mereka bertindak melawan keserakahan teman-temannya.
        Hari terus berlalu, tahun terus berganti dan waktu terus berputar, tidak terasa mereka menjadi tua dan anak-anak mereka menjadi dewasa. Meskipun mereka tinggal di daerah pedalaman yang masih asri dan belum terjamah oleh manusia, mereka selalu menceritakan kepada anak-anak mereka bahwa kondisi yang mereka alami tidak bisa dialami oleh semua satwa yang ada di bumi ini. Mereka beruntung masih bisa menghirup udara segar dan tidak kekurangan suatu apapun. Namun di daerah lain para satwa berjuang keras untuk bertahan hidup di tempat yang penuh dengan keterbatasan. Mereka juga menyuruh anak-anaknya untuk berkelana ke daerah lain agar bisa mengetahui keadaan para satwa lain yang tidak seberuntung mereka dan satwa-satwa yang ada di daerah pedalaman tersebut.
       Karena usianya yang semakin tua si Pelatuk meninggal dunia, sebelum meninggal ia berpesan kepada anak-anaknya agar mereka segera berkelana melihat-lihat kondisi buminya di belahan bumi yang lain. Akhirnya si Pelatuk tersebut meninggal setelah teman-teman seumurannya meninggalkannya terlebih dahulu.
        Anak-anak burung itu pun melaksanakan pesan yang telah dimandatkan kepada mereka bahwa mereka harus berkelana melihat kondisi saudaranya di bumi belahan lain untuk mengetahui kondisi bumi saat ini. Akhirnya mereka pun berangkat bersama-sama untuk memenuhi mandat dari ayah mereka masing-masing. Sambil melihat kondisi hutan yang mereka lewati mereka mengingat-ingat semua yang pernah diceritakan ayahnya kepadanya. Ternyata semua cerita ayah mereka benar, bumi sudah mulai rusak. Mereka tidak lagi melihat alam yang asri seperti tempat tinggalnya, bahkan mereka sempat tidak percaya melihat kondisi bumi yang seperti itu karena mereka terbiasa melihat bumi yang asri dan hijau. Yang mereka lihat hanyalah kekeringan dimana-mana, tanpa adanya pohon yang rindang, satwa-satwa yang bermacam-macam juga tidak mereka temukan di tempat itu. Mereka hanya menemukan gedung-gedung pencakar langit, jalanan dengan kendaraan yang penuh sesak dan manusia yang sibuk melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri.
       Mereka juga menyadari bahwa doa yang pernah dipanjatkan oleh ayah-ayah mereka belum dikabulkan oleh Tuhan. Karena mereka belum melihat manusia yang menyadari akan konservasi lingkungan demi kepentingan generasi selanjutnya, mereka hanya memikirkan bagaimana caranya untuk memperkaya diri mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa ancaman serius pemanasan global akan segera terjadi jika mereka membiarkan lingkungannya dieksploitasi.
       Para burung itu hanya bisa diam termenung memikirkan nasib bumi mereka selanjutnya jika manusia terus berlaku serakah tanpa memikirkan akibat jangka panjang. Kemudian mereka masih tetap memanjatkan doa kepada Tuhan agar doa yang pernah dipanjatkan ayah-ayah mereka dikabulkan oleh Tuhan.
        Generasi terus berganti, mereka akan selalu menceritakan keserakahan manusia yang tiada akhirnya kepada anak-anak keturunannya. Mereka hanya bisa memberitahukan kepada anak-anaknya saja tanpa bisa bertindak apa-apa. Karena mereka tahu bahwa manusia mempunyai akal dan akan semakin berinovasi untuk menciptakan hal-hal baru tanpa memperhatikan konservasi lingkungan. Beda dengan mereka para satwa yang tidak mempunyai akal, sampai kapanpun mereka tidak akan bisa menandingi manusia karena memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa mereka diciptakan tanpa akal.
        Tibalah suatu kondisi dimana krisis kehidupan melanda makhluk seluruh bumi. Kondisi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya dan sebenarnya sudah pernah terpikirkan oleh manusia bahwa kondisi ini suatu saat akan terjadi. Namun karena keserakahan mereka, mereka tidak mau pusing-pusing memikirkan sesuatu yang belum pasti terjadi karena mereka beroikir bahwa kekayaan alam yang ada di bumi ini melimpah ruah dan masih bisa diperbaharui. Namun ternyata anggapan mereka salah. Keadaan inilah yang menjawab kekhawatiran para burung dan satwa-satwa lain yang sudah dari dulu mereka cemaskan. Akhirnya peristiwa ini mereka alami juga, meskipin yang mengalami adalah generasi penerus mereka bukan mereka sendiri.
      Sekelompok manusia yang biasa disebut dengan pemerintah kini mempunyai hal baru untuk mereka pikirkan yaitu bagaimana caranya agar rakyatnya tetap bisa bertahan hidup tanpa kekurangan suatu apapun. Sedangkan sumber daya alam yang mereka miliki sudah mulai menipis. Bahkan mereka harus merubah pola hidup mereka dan hidup dengan kesederhanaan. Itulah yang terjadi saat ini di abad ke-33 ini.
      Sekarang, terdapat banyak rambu-rambu yang harus mereka (para manusia) tepati. Dimana peraturan-peraturan tersebut baru ada pada akhir-akhir ini. Peraturan-peraturan itu adalah peraturan baru bagi mereka dan rasanya sangat aneh jika sampai ada peraturan konyol itu. Namun itulah yang sebenrnya terjadi, meskipun terlihat konyol namun pemerintah serius dalam membuat peraturan tersebut.
        Peraturan konyol tersebut antara lain adalah adanya jual beli udara segar (O2) oleh masyarakat yang dikelola oleh pemerintah. Hal ini terpaksa dilakukan agar semua makhluk hidup bisa bernapas dengan sehat tanpa adanya perebutan wilayah udara segar, karena saat itu udara segar sangat susah untuk ditemukan. Selain jual beli air bersih terjadi di semua tempat tanpa terkecuali, yang sebelumnya hanya terjadi di daerah-daerah tertentu saja. Lebih memprihatinkan lagi ketika melihat kondisi satwa dan tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari teknologi manusia. Tentu saja hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukannya, namun memang tidak ada jalan lain selain melakukan hal itu kalau manusia tidak mau mati kelaparan karena tidak ada lagi yang mereka makan. Bahkan jumlah makanan yang boleh dimakan per harinya pun juga diatur oleh pemerintah untuk mencegah kehabisan stok makanan.
         Kondisi yang benar-benar memprihatinkan ini membuat mereka tersadar bahwa apa yang dilakukan oleh para leluhurnya dulu adalah tindakan anarkis yang tidak pernah memperhatikan nasib keturunannya di masa depan. Dan sekarang sudah terlanjur terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali menghadapinya dengan bijak. Sebijak apapun solusinya tetap saja hal ini adalah sulit untuk dijalani karena bumi sudah sangat rusak.
      Para satwa yang telah diberikan mandat oleh para leluhurnya dari generasi ke generasi tidak heran jika kondisi seperti ini terjadi karena ternyata doa mereka tidak dikabulkan oleh Tuhannya. Bagi mereka hal ini wajar terjadi karena manusia tidak pernah mau untuk bersyukur dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah didapatnya.
”Inilah yang diceritakan oleh ayah kita kawan, kita hanya bisa membayangkan bumi yang asri dan hijau yang bisa membuat kita hidup aman, tenteram dan damai lewat angan-angan kita tanpa pernah bisa merasakannya. Kita harus menerima semua ini karena mau tidak mau kita harus merasakannya, namun kita juga tidak bisa menyalahkan manusia karena semuanya sudah terjadi. Semuanya tidak bisa diulang lagi, saling menyalahkan juga tidak ada gunanya bagi kita. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mengikuti apa kata manusia saja, karena hanya mereka yang bisa mengakali hidup ini. Meskipun jika suatu saat nanti Tuhan kita akan membinasakan bumi dan seisinya termasuk kita. Setidaknya kita sudah berbuat kebaikan untuk manusia agar mereka tetap bisa hidup, dan kita para hewan dan tumbuhan harus rela jika kita dimakan oleh mereka”, kata seekor burung terhadap teman-temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar